Sumber : http://raytkj.blogspot.com/2011/03/cara-pasang-read-more-otomatis-di-blog.html#ixzz1z7yeR7Nh

Jumat, 28 Oktober 2011

STUDI KASUS FILSAFAT

PENGANTAR

Filsafat pendidikan merupakan aplikasi filsafat dalam pendidikan (Kneller, 1971). Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan yang dibatasi pengalaman, tetapi masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta lebih kompleks, yang tidak dibatasi pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan, dan tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh sains pendidikan. Pendidikan adalah proses penyesuian diri secara timbal balik antara manusia dengan alam, dengan sesama manusia atau juga pengembangan dan penyempurnaan secara teratur dari semua potensi moral, intelektual, dan jasmaniah manusia oleh dan untuk kepentingan pribadi dirinya dan masyarakat yang ditujukan untuk kepentingan tersebut dalam hubungannya dengan Allah Yang Maha Pencipta sebagai tujuan akhir. Ahmad D. Marimba mengatakan bahwa, “Pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh si pendidik terhadap si terdidik dalam hal perkembangan jasmani dan rohani menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Selain pendidikan dipusatkan untuk membina kepribadian manusia, pendidikan juga diperuntukkan guna pembinaan masyarakat. Pendidikan adalah proses penyesuian diri secara timbal balik antara manusia dengan alam, dengan sesama manusia atau juga pengembangan dan penyempurnaan secara teratur dari semua potensi moral, intelektual, dan jasmaniah manusia oleh dan untuk kepentingan pribadi dirinya dan masyarakat yang ditujukan untuk kepentingan tersebut dalam hubungannya dengan Sang Maha Pencipta sebagai tujuan akhir. Pendidikan mutlak harus ada pada manusia, karena pendidikan merupakan hakikat hidup dan kehidupan. Pendidikan berguna untuk membina kepribadian manusia. Dengan pendidikan maka terbentuklah pribadi yang baik sehingga di dalam pergaulan dengan manusia lain, individu dapat hidup dengan tenang. Pendidikan membantu agar tiap individu mampu menjadi anggota kesatuan sosial manusia tanpa kehilangan pribadinya masing-masing. Pada hakikatnya pendidikan menjadi tanggung jawab bersama, yakni keluarga, masyarakat, dan sekolah/ lembaga pendidikan. Keluarga sebagai lembaga pertama dan utama pendidikan, masyarakat sebagai tempat berkembangnya pendidikan, dan sekolah sebagai lembaga formal dalam pendidikan. Pendidikan keluarga sebagai peletak dasar pembentukan kepribadian anak. Filsafat dalam pendidikan (filsafat pendidikan) digunakan untuk memecahkan problem hidup dan kehidupan manusia sepanjang perkembangannya dan digunakan untuk memecahkan problematika pendidikan masa kini.










 



 




STUDI KASUS FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM TENTANG PROBLEMATIKAPENDIDIKAN ISLAM DI ERA GLOBAL

   


A.     HAKIKAT PENDIDIKAN ISLAM DAN GLOBALISASI
1.      Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan adalah proses mempersiapkan masa depan anak didik dalam mencapai tujuan hidup secara efektif dan efisien. Sedangkan Pendidikan Islam menurut para tokoh ialah sebagai berikut:
Pertama, menurut Ahmadi mendefinisikan Pendidikan Islam adalah segala usaha untuk memelihara fitrah manusia serta sumber daya insani yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) yang sesuai dengan norma Islam.
Kedua, menurut Syekh Musthafa Al-Ghulayani memaknai pendidikan adalah menanamkan akhlak mulia dalam jiwa murid serta menyiraminya dengan petunjuk dan nasehat, sehingga menjadi kecenderungan jiwa yang membuahkan keutamaan kebaikan serta cinta belajar yang berguna bagi tanah air.
Dalam definisi diatas terlihat jelas bahwa pendidikan Islam itu membimbing anak didik dalam perkembangan dirinya, baik jasmani maupun rohani menuju terbentuknya kepribadian yang utama pada anak didik nantinya yang didasarkan pada hukum-hukum islam.

2.      Dasar-dasar Pendidikan Islam
Menurut Samsul Nizar membagi dasar pendidikan islam menjadi tiga sumber, yaitu sebagai berikut :
a.   Al Qur’an
Al Qur’an adalah kalam Allah swt. Yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dalam bahasa arab guna menjalankan jalan hidup yang membawa kemaslahatan bagi umat manusia (rahmatan lil ‘alamin), baik di dunia maupun di akhirat.
Al Qur’an sebagai petunjuk ( Hudan ) ditunjukkan dalam firmanNya :

ان هذا القرأن يهدى للتى هي أقوم ويبشر المؤمنين الذين يعملون الصلحت  أن له أجرا كبيرا
Artinya :
 Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih Lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar, (Al Israa’ ayat 9)
            Pelaksanaan pendidikan islam harus senantiasa mengacu pada sumber yang termuat dalam Al Qur’an. Dengan berpegang pada nilai-nilai tertentu dalam Al Qur’an, teruatama dalam pelaksanaan pendidikan islam. Umat islam akan mampu mengarahkan dan mengantarkan umat manusia menjadi kreatif dan dinamis serta mampu mencapai esensi nilai-nilai ubudiyah kepada khaliknya.
b.   Sunnah
Keberadaan Sunnah Nabi tidak lain adalah sebagai penjelas dan penguat hukum-hukum yang ada didalam Al Qur’an, sekaligus sebagai pedoman bagi kemaslahatan hidup manusia dalam semua aspeknya. Eksistensinya merupakan sumber inspirasi ilmu pengetahuan yang berisikan keputusan dan penjelasan Nabi dari pesan-pesan illahiyah yang tidak terdapat didalam Al Qur’an, maupun yang terdapat didalam Al Qur’an tetapi masih memerlukan penjelasan lebih lanjut secara terperinci.
c.   Ijtihad
Pentingnya Ijtihad tidak lepas dari kenyataan bahwa pendidikan Islam di satu sisi dituntut agar senantiasa sesuai dengan dinamika zaman dan IPTEK yang berkembang dengan cepat. Sementara disisi lain, dituntut agar tetap mempertahankan kekhasannya sebagai sebuah sistem pendidikan yang berpijak pada nilai-nilai agama. Ini merupakan masalah yang senantiasa menuntut Mujtahid Muslim di bidang pendidikan untuk selalu berijtihad sehingga teori pendidikan islam senantiasa relevan dengan tuntutan zaman dan kemajuan IPTEK.

3.      Tujuan Pendidikan Islam
Menurut Muhammad Fadhil al-Jamaly, tujuan pendidikan islam menurut Al Qur’an meliputi (1) menjelaskan posisi peserta didik sebagai manusia diantara makhluk Allah lainnya dan tanggung jawabnya dalam kehidupan ini, (2) menjelaskan hubungannya sebagai makhluk sosial dan tanggung jawabnya dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. (3) menjelaskan hubungan manusia dengan alam dan tugasnya untuk mengetahui hikmah penciptaan dengan cara memakmurkan alam semesta, (4) menjelaskan hubungannya dengan Kholik sebagai pencipta alam semesta.

4.      Hakikat Globalisasi
Globalisasi secara harfiah berasal dari kata global yang berarti sedunia atau sejagat. Menurut A. Qodry Azizi, menyebut bahwa era globalisasi berarti terjadinya pertemuan dan gesekan nilai-nilai budaya dan agama diseluruh dunia yang memanfaatkan jasa komunikasi, transformasi, dan informasi yang merupakan hasil modernisasi di bidang teknologi.
Proses global ini pada hakikatnya bukan sekedar banjir barang, melainkan akan melibatkan aspek yang lebih luas, mulai dari keuangan, pemilikan modal, pasar, teknologi, daya hidup, bentuk pemerintahan, sampai kepada bentuk-bentuk kesadaran manusia.

B.     PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM DI ERA GLOBAL
Pendidikan Islam diakui keberadaannya dalam sistem pendidikan yang terbagi menjadi tiga hal. Pertama, Pendidikan Islam sebagai lembaga diakuinya keberadaan lembaga pendidikan Islam secara Eksplisit. Kedua, Pendidikan Islam sebagai Mata Pelajaran diakuinya pendidikan agama sebagai salah satu pelajaran yang wajib diberikan pada tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Ketiga, Pendidikan Islam sebagai nilai (value) yakni ditemukannya nilai-nilai islami dalam sistem pendidikan.
Walaupun demikian, pendidikan islam tidak luput dari problematika yang muncul di era global ini. Terdapat dua faktor dalam problematika tersebut, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
1.      Faktor Internal
a.   Relasi Kekuasaan dan Orientasi Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan pada dasarnya hanya satu, yaitu memanusiakan manusia, atau mengangkat harkat dan martabat manusia atau human dignity, yaitu menjadi khalifah di muka bumi dengan tugas dan tanggung jawab memakmurkan kehidupan dan memelihara lingkungan. Tujuan pendidikan yang selama ini diorientasikan memang sangat ideal bahkan, lantaran terlalu ideal, tujuan tersebut tidak pernah terlaksana dengan baik.
         Orientasi pendidikan, sebagaimana yang dicita-citakan secara nasional, barangkali dalam konteks era sekarang ini menjadi tidak menentu, atau kabur kehilangan orientasi mengingat adalah tuntutan pola kehidupan pragmatis dalam masyarakat indonesia. Hal ini patut untuk dikritisi bahwa globalisasi bukan semata mendatangkan efek positif, dengan kemudahan-kemudahan yang ada, akan tetapi berbagai tuntutan kehidupan yang disebabkan olehnya menjadikan disorientasi pendidikan. Pendidikan cenderung berpijak pada kebutuhan pragmatis, atau kebutuhan pasar lapangan, kerja, sehingga ruh pendidikan islam sebagai pondasi budaya, moralitas, dan social movement (gerakan sosial) menjadi hilang.
b.   Masalah Kurikulum
Sistem sentralistik terkait erat dengan birokrasi atas bawah yang sifatnya otoriter yang terkesan pihak “bawah” harus melaksanakan seluruh keinginan pihak “atas”. Dalam system yang seperti ini inovasi dan pembaruan tidak akan muncul. Dalam bidang kurikulum sistem sentralistik ini juga mempengaruhi output pendidikan. Tilaar menyebutkan kurikulum yang terpusat, penyelenggaraan sistem manajemen yang dikendalikan dari atas telah menghasilkan output pendidikan manusia robot. Selain kurikulum yang sentralistik, terdapat pula beberapa kritikan kepada praktik pendidikan berkaitan dengan saratnya kurikulum sehingga seolah-olah kurikulum itu kelebihan muatan. Hal ini mempengaruhi juga kualitas pendidikan. Anak-anak terlalu banyak dibebani oleh mata pelajaran.
Dalam realitas sejarahnya, pengembangan kurikulum Pendidikan Islam tersebut mengalami perubahan-perubahan paradigma, walaupun paradigma sebelumnya tetap dipertahankan. Hal ini dapat dicermati dari fenomena berikut : (1) perubahan dari tekanan pada hafalan dan daya ingat tentang teks-teks dari ajaran-ajaran agama islam, serta disiplin mental spiritual sebagaimana pengaruh dari timur tengah, kepada pemahaman tujuan makna dan motivasi beragama islam untuk mencapai tujuan pembelajaran Pendidikan Islam. (2) perubahan dari cara berfikir tekstual, normatif, dan absolutis kepada cara berfikir historis, empiris, dan kontekstual dalam memahami dan menjelaskan ajaran-ajaran dan nilai-nilai islam.(3) perubahan dari tekanan dari produk atau hasil pemikiran keagamaan islam dari para pendahulunya kepada proses atau metodologinya sehingga menghasilkan produk tersebut. (4) perubahan dari pola pengembangan kurikulum pendidikan islam yang hanya mengandalkan pada para pakar dalam memilih dan menyusun isi kurikulum pendidikan islam ke arah keterlibatan yang luas dari para pakar, guru, peserta didik, masyarakat untuk mengidentifikasikan tujuan Pendidikan Islam dan cara-cara mencapainya.
c.   Pendekatan/Metode Pembelajaran
Peran guru atau dosen sangat besar dalam meningkatkan kualitas kompetensi siswa/mahasiswa. Dalam mengajar, ia harus mampu membangkitkan potensi guru, memotifasi, memberikan suntikan dan menggerakkan siswa/mahasiswa melalui pola pembelajaran yang kreatif dan kontekstual (konteks sekarang menggunakan teknologi yang memadai). Pola pembelajaran yang demikian akan menunjang tercapainya sekolah yang unggul dan kualitas lulusan yang siap bersaing dalam arus perkembangan zaman.
Siswa atau mahasiswa bukanlah manusia yang tidak memiliki pengalaman. Sebaliknya, berjuta-juta pengalaman yang cukup beragam ternyata ia miliki. Oleh karena itu, dikelas pun siswa/mahasiswa harus kritis membaca kenyataan kelas, dan siap mengkritisinya. Bertolak dari kondisi ideal tersebut, kita menyadari, hingga sekarang ini siswa masih banyak yang senang diajar dengan metode yang konservatif, seperti ceramah, didikte, karena lebih sederhana dan tidak ada tantangan untuk berfikir.
d.   Profesionalitas dan Kualitas SDM
Salah satu masalah besar yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia sejak masa Orde Baru adalah profesionalisme guru dan tenaga pendidik yang masih belum memadai. Secara kuantitatif, jumlah guru dan tenaga kependidikan lainnya agaknya sudah cukup memadai, tetapi dari segi mutu dan profesionalisme masih belum memenuhi harapan. Banyak guru dan tenaga kependidikan masih unqualified, underqualified, dan mismatch, sehingga mereka tidak atau kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar kualitatif.
e.   Biaya Pendidikan
Faktor biaya pendidikan adalah hal penting, dan menjadi persoalan tersendiri yang seolah-olah menjadi kabur mengenai siapa yang bertanggung jawab atas persoalan ini. Terkait dengan amanat konstitusi sebagaimana termaktub dalam UUD 45 hasil amandemen, serta UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang memerintahkan negara mengalokasikan dana minimal 20% dari APBN dan APBD di masing-masing daerah, namun hingga sekarang belum terpenuhi. Bahkan, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan genap 20% hingga tahun 2009 sebagaimana yang dirancang dalam anggaran strategis pendidikan.
1)      Faktor Eksternal
Problem yang dihadapi pendidikan Islam kontemporer adalah cukup banyak, jika dicermati secara jeli dan teliti. Tetapi secara umum dan mendasar ada lima hal yang akan penulis ungkapkan untuk mewakili dari berbagai problem yang mengkontaminasi atmosfir pendidikan Islam dewasa ini. Makalah ini berusaha menyorot problem-problem utama yang dihadapi pendiddikan Islam kontemporer yang antara lain meliputi :
a)      Dichotomic
Masalah besar yang dihadapi dunia pendidikan islam adalah dichotomy dalam beberapa aspek yaitu antara Ilmu Agama dengan Ilmu Umum, antara Wahyu dengan Akal setara antara Wahyu dengan Alam. Munculnya problem dikotomi dengan segala perdebatannya telah berlangsung sejak lama. Boleh dibilang gejala ini mulai tampak pada masa-masa pertengahan. Menurut Rahman, dalam melukiskan watak ilmu pengetahuan islam zaman pertengahan menyatakan bahwa, muncul persaingan yang tak berhenti antara hukum dan teologi untuk mendapat julukan sebagai mahkota semua ilmu. Munculnya problem dikotomi dengan segala perdebatannya telah berlangsung sejak lama. Penyebabnya antara lain adalah :
·         Peradaban umat Islam yang tidak bias menyajikan Islam secra kaffah, yang mengakibatkan lahirnya pendidikan umat Islam yang sekularistik, rasionalistik dan materialistuik. Ini disebabkan oleh :pertama, kegagalan dalam merumuskan tauhid dan cara bertauhid, kedua, kegagalan butir tersebut menyebabkan lahirnya syirik yang berakibat adanya dikotomi"fikroh Islami". Dikhotomi fikroh Islami inilah yang menimbulkan dikotomi proses pencapaian tujuan pendidikannya.
·         Penyabab yang lain adalah diterimanya budaya Barat secara total bersama dengan adopsi ilmu pengetahuan dan teknologinya. Mereka yang menganut faham tersebut berkeyakinan yang penting adalah kemajuan bukan agama dan oleh karena itu kajian budaya dibatasi dibidangnya.
   Dikotomi system pendidikan Islam juga sangat merugikan pendidikan Islam itu sendiri. Beberapa permasalahan yang menyelimuti dunia pendidikan Islam sebagai akibat munculnya dualisme pendidikan tersebut adalah:
Pertama, munculnya ambivalensi orientasi pendidikan Islam, dengan adanya ambivalensi orientasi ini menyebabkan confuse bagi umat Islam.
Sementara ini, dengan pendidikan pesantren masih dirasakan adanya "kekurangan" dalam program pendidikan yang diterapkan. Misalnya dalam bidng mu'amalat (ibadah dalam arti yang luas) yang mencakup penguasaan berbagai disiplin ilmu dan keterapilan, terdapat anggapan bahwa bahwa seolah semua itu bukan merupakan bidang garapan Islam, melainkan bidang garapan khusus system pendidikan sekuler.
System madrasah, apalagi sekolah dan perguruan tinggi Islam telah membagi porsi materi pendidikan Islam dan materi pendidikan umum dalam persentasi tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan Islam tidak lagi berorientasi sepenuhnya pada tujuan pendidikan Islam. Namun ironisnya, juga tidak mampu mencapai tujuan pendidikan Barat. Pada akhirnya, pendidikan Islam disekolah dan perguruan tinggi (terutama umum) diketahui sebagai pelengkap yang menempel bagi pencapaian orientasi pendidikan sekuler.
Kedua, munculnya kesenjangan antar system pendidikan Islam dan ajaran Islam yang masih ambivalen mencerminkan pandangan dikhotomis yang memisahkan ilmu-ilmu umum dengan ilmu-ilmu agama. Pandangan ini jelas bertentangan dengan konsep ajaran Islam sendiri. Islam memiliki ajaran integralistik, Islam mengajarkan bahwa urusan dunia tidak terpisah dengan urusan akhirat, atau dengan kata lain Islam mengakui adanya ajaran kesatuan dunia dan akhirat. Implikasinya, bila merujuk pada ajaran Islam, ilmu-ilmu umum seharusnya difahami sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ilmu-ilmu agama. Oleh karenanya bila faham dikhotomis dan ambivalen dipertahankan, output pendidikannya tentu jauh dari cita-cita pendidikan Islam itu sendiri.
Ketiga, disintegrasi system pendidikan Islam hingga saat ini boleh dikatakan bahwa dalam system pendidikan kurang terjadi usaha-usaha perpaduan (integralisasi). Keadaan ini diperburuk oleh ketidak pastian hubungan antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Bahkan hal itu juga ditunjang oleh kesenjangan wawasan guru agama dan kebutuhan anak didik, terutama disekolah umum.
Pengaruh-pengaruh negative yang diakibatkan oleh system dikotomik pendidikan tersebut sangat merugikan pendidikan Islam, kecendrungan untuk terpukau pada system pendidikan Barat sebagai tolok ukur pendidikan nasional diakui atau tidak telah mempengaruhi system pendidikan Islam. Sehingga system oendidikan Islam telah terpecah dalam tiga bentuk; system pesantren, madrasah, dan perguruan tinggi Islam yang masing-masing memiliki orientasi yang tidak saling memadu. System pesantren berorientasi pada tujuan institusionalnya, antara lain terciptanya ahli ilmu agama (ulama/kyai). System madrasah bergeser orientasi kepenguasaan ilmu-ilmu umum sebagai tujuan sekunder, akhirnya berkembang menjadi sekolah Isla atau sekolah tinggi Islam yang tujuan institusianal primernya adalah pengusaan ilmu-ilmu umum, sedangkan ilmu-ilmu agama menjadi tujuan sekundernya.


b)      To General Knowledge
Kelemahan dunia pendidikan Islam berikutnya adalah sifat ilmu yang pengetahuan yang masih terlalu general dan kurang memperhatikan kepada upaya penyelesaian masalah (problem solving). Prosuk-produk yang dihasilkan cendrung kurang membumi dan kurang selaras dengan dinamika masyarakatnya. Syed al-Attas menyatakan bahwa kemampuan untuk mengatasi berbagai permasalahan, mendefinisikan, menganalisis dan selanjutnya mencari jalan keluar/pemecahan masalah tersebut merupakan karakter dan sesuatu yang mendasari kualitas sebuah intelektual. Ia menambahkan ciri terpenting yang membedakan dengan non-intelektual adalah tidak adanya kemauan untuk berfikir dan ketidakmampuan untuk melihat konsekuensinya.
Dibeberapa Negara muslim, khususnya bekas jajahan Prancis fakultas seni dan hukum menjadi fakultas yang paling penting, fakulte des letters dn fakulte des droits mendominasi seantero kampus. Para lulusan dari fakultas-fakultas tersebut mendapat ajaran ilmu yang bersifat general, yang satu terlalu general dengan fungsi-fungsi praktis dan yang lainnya dengan hafalan, tanpa memberikan perhatian terhdap usaha pemecahan masalah (problem solving).
Sedangkan hal yang sangat perlu untuk ditegaskan adalah bahwa konsep ilmu dalam tradisi Islam sangat berbeda dengan tradisi Barat. Konsep ilmu Barat menekankan nilai penting ontology dan epistemologinya sebagai pijakan, sedangkan konsep ilmu dalam Islam berangkat dari aksiologinya. Perbedaan itu berkenaan dengan masalah teori sebagai tujuan dan metodologinya, kaitannya dengan pengembangan ilmu, pendidikan Islam harus bisa membentuk manusia yang berkepribadian mulia ang tda hanya tahu dan bias berperan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tetapi juga harus menghiasinya dengan moral yang baik dan tinggi, dengan demikian system pendidikan Islam terkait erat dengan nilai-nilai kebaikan yang menjadi tujuannya. 

c)       Lack of Spirit of Inquiry
                 Persoalan besar lainnya yang menjadi penghambat kemajuan dunia pendidikan islam ialah rendahnya semangat untuk melakukan penelitian/penyelidikan. Syed Hussein Alatas merujuk kepada pernyataan The Spiritus Rector dari Modernisme Islam, Al Afghani, Menganggap rendahnya “The Intellectual Spirit” (semangat intelektual) menjadi salah satu faktor terpenting yang menyebabkan kemunduran Islam di Timur Tengah. Hal tersebut masih diperparah dengan semangat untuk meneliti, rasa cinta untuk mencari ilmu, dan penghormatan terhadap ilmu pengetahuan serta ilmu rasional tidak berkembang luas dinegara-negara berkembang. Dalam masyarakat muslim dimana lembaga-lembaga perguruan tinggi akar kuat terhadap cara-cara belajar hafalan, isi (content) dari sains-sains positif yang diadopsi dari Eropa tetap diajarkan dengan model yang sama (hafalan). Ayat-ayat al-Qur'an dipelajari dengan hati sebab ayat-ayat tersebut adalah sempurna dan tidak untuk diselidiki apa yang terkandung didalamnya. 
d)      Memorisasi
Rahman menggambarkan bahwa, kemerosotan secara gradual dari standar-standar akademis yang berlangsung selama berabad-abad tentu terletak pada kenyataan bahwa, karena jumlah buku-buku yang tertera dalam kurikulum sedikit sekali, maka waktu yang diperlukan untuk belajar juga terlalu singkat bagi pelajar untuk dapat menguasai materi-materi yang seringkali sulit untuk dimengerti, tentang aspek-aspek tinggi ilmu keagamaan pada usia yang relatif muda dan belum matang. Hal ini pada gilirannya menjadikan belajar lebih banyak bersifat studi tekstual daripada pemahaman pelajaran yang bersangkutan. Hal ini menimbulkan dorongan untuk belajar dengan sistem hafalan (memorizing) daripada pemahaman yang sebenarnya. Kenyataan menunjukkan bahwa abad-abad pertengahan yang akhir hanya menghasilkan sejumlah besar karya-karya komentar dan bukan karya-karya yang pada dasarnya orisinal.
e)      Certificate Oriented
Pola yang dikembangkan pada masa awal-awal Islam, yaitu thalab al’ilm, telah memberikan semangat dikalangan muslim untuk gigih mencari ilmu, melakukan perjalanan jauh, penuh resiko, guna mendapatkan kebenaran suatu hadits, mencari guru diberbagai tempat, dan sebagainya. Hal tersebut memberikan isyarat bahwa karakteristik para ulama muslim masa-masa awal didalam mencari ilmu adalah knowledge oriented. Sehingga tidak mengherankan jika pada masa-masa itu, banyak lahir tokoh-tokoh besar yang memberikan banyak konstribusi berharga, ulama-ulama encyclopedic, karya-karya besar sepanjang masa. Sementara, jika dibandingkan dengan pola yang ada pada masa sekarang dalam mencari ilmu menunjukkan kecenderungan adanya pergeseran dari knowledge oriented menuju certificate oriented semata. Mencari ilmu hanya merupakan sebuah proses untuk mendapatkan sertifikat atau ijazah saja, sedangkan semangat dan kualitas keilmuan menempati prioritas berikutnya. Hampir diseluruh universitas Islam adalah para mahasiswa yang telah menyelesaikan studi dengan metode rote-learning dibekali dengan sebuah sertifikat/ijazah tetapi bukan dengan "kualifikasi substansial" yang dapat diterapkan atau dimnfaatkan dalam proses pembangunan. Belajar oleh kebanyakan orang dianggap hanyalah alas an muhan kebutuhan perut (a bread winning ticket) atau tiket untuk masuk keposisi-posisi yang lebih baik. Pola yang dikembangkan pada masa-msa awal Islam adalah thalabul ilmi telah memberikan semangat dikalangan muslim untuk gigih mencari ilmu, melakukan perjalanan jauh penuh resiko guna mencari kebenaran suatu ilmu. Hal tersebut memberikan isyarat bahwa karakteristik para ulama muslim masa-masa awal didalam mencari ilmu adalah knowledge oriented, sehingga tidak mengherankan jika pada masa-masa itu banyak lahir tokoh-tokoh yang besar yang memberikan kontribusi berharga.
                  Sementara, jika dibandingkan dengan pola yang ada pada sekarang dalam mencari ilmu menunjukkan kecendrungan pergeseran dari knowledge oriented menuju certificate oriented. Mencari ilmu hanya merupakan sebuah proses untuk mendapatkan sertifikat dan ijazah saja, sedangkan semangat dan kualitas keilmuan menempati prioritas berikutnya. Jual beli gelar juga menjadi bahan perbincangan yang cukup serius dikalangan akademisi yang terjadi di Indonesia yang semkin menambah keterpurukan pendidikan Nasinal di mata dunia.


C.     SOLUSI PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM DI ERA GLOBAL
Pendidikan memiliki keterkaitan erat dengan globalisasi. Pendidikan tidak mungkin menisbikan proses globalisasi yang akan mewujudkan masyarakat global ini. Dalam menuju era globalisasi, indonesia harus melakukan reformasi dalam proses pendidikan, dengan tekanan menciptakan sistem pendidikan yang lebih komprehensif, dan fleksibel, sehingga para lulusan dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupan masyarakat global demokratis. Untuk itu, pendidikan harus dirancang sedemikian rupa yang memungkinkan para peserta didik mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif dalam suasana penuh kebebasan, kebersamaan, dan tanggung jawab. Disamping itu, pendidikan harus menghasilkan lulusan yang dapat memahami masyarakatnya dengan segala faktor yang dapat mendukung mencapai sukses ataupun penghalang yang menyebabkan kegagalan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah mengembangkan pendidikan yang berwawasan global.
Selain itu, program pendidikan harus diperbaharui, dibangun kembali atau dimoderenisasi sehingga dapat memenuhi harapan dan fungsi yang dipikulkan kepadanya. Sedangkan solusi pokok menurut Rahman adalah pengembangan wawasan intelektual yang kreatif dan dinamis dalam sinaran dan terintegrasi dengan Islam harus segera dipercepat prosesnya. Sementara itu, menurut Tibi, solusi pokoknya adalah secularization, yaitu industrialisasi sebuah masyarakat yang berarti diferensiasi fungsional dari struktur sosial dan sistem keagamaannya.
Berbagai macam tantangan tersebut menuntut para penglola lembaga pendidikan, terutama lembaga pendidikan Islam untuk melakukan nazhar atau perenungan dan penelitian kembali apa yang harus diperbuat dalam mengantisipasi tantangan tersebut, model-model pendidikan Islam seperti apa yang perlu ditawarkan di masa depan, yang sekiranya mampu mencegah dan atau mengatasi tantangan tersebut. Melakukan nazhar dapat berarti at-taammul wa al’fahsh, yakni melakukan perenungan atau menguji dan memeriksanya secara cermat dan mendalam, dan bias berarti taqlib al-bashar wa al-bashirah li idrak al-syai’ wa ru’yatihi, yakni melakukan perubahan pandangan (cara pandang) dan cara penalaran (kerangka pikir) untuk menangkap dan melihat sesuatu, termasuk di dalamnya adalah berpikir dan berpandangan alternatif serta mengkaji ide-ide dan rencana kerja yang telah dibuat dari berbagai perspektif guna mengantisipasi masa depan yang lebih baik.


D.    ORIENTASI PENDIDIKAN ISLAM DI ERA GLOBAL
Menurut Ahmad Tantowi, dengan adanya era globalisasi ini perlu adanya rumusan orientasi pendidikan Islam yang sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Orientasi tersebut ialah sebagai berikut :
1.      Pendidikan Islam sebagai Proses Penyadaran
Pendidikan Islam harus diorientasikan untuk menciptakan “kesadaran kritis” masyarakat. Sehingga dengan kesadaran kritis ini akan mampu menganalisis  hubungan faktor-faktor sosial dan kemudian mencarikan jalan keluarnya. Hubungan antara kesadaran tersebut dengan pendidikan Islam dan globalisasi ialah agar umat Islam bisa melihat secara kritis bahwa implikasi-implikasi dari globalisasi bukanlah sesuatu yang given atau takdir yang sudah digariskan oleh Tuhan, akan tetapi sebagai konsekuensi logis dari sistem dan struktur globalisasi itu sendiri.
2.      Pendidikan Islam sebagai Proses Humanisasi
Proses Humanisasi dalam pendidikan Islam dimaksudkan sebagai upaya mengembangkan manusia sebagai makhluk hidup yang tumbuh dan berkembang dengan segala potensi (fitrah) yang ada padanya. Manusia dapat dibesarkan (potensi jasmaninya) dan diberdayakan (ptoensi rohaninya) agar dapat berdiri sendiri dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
3.      Pendidikan Islam sebagai Pembinaan Akhlak al-Karimah
Akhlak merupakan domain penting dalam kehidupan masyarakat, apalagi di era globalisasi ini. Tidak adanya akhlak dalam tata kehidupan masyarakat akan menyebabkan hancurnya masyarakat itu sendiri. Hal ini bisa diamati pada kondisi yang ada di negeri ini. Menurut Abuddin Nata, hal seperti ini pada awalnya hanya menerpa sebagian kecil elit politik (penguasa), tetapi kini ia telah menjalar kepada masyarakat luas, termasuk kalangan pelajar.
Bagi pendidikan Islam, masalah pembinaan akhlak sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Sebab akhlak memang merupakan misi utama agama Islam. Hanya saja, akibat penetrasi budaya sekuler barat, belakangan ini masalah pembinaan akhlak dalam institusi pendidikan Islam tampak lemah. Untuk itu, pendidikan Islam harus dikembalikan kepada fitrahnya sebagai pembinaan akhlaq al-karimah, dengan tanpa mengesampingkan dimensi-dimensi penting lainnya yang harus dikembangkan dalam institusi pendidikan, baik formal, informal, maupun nonformal.
Pembinaan akhlak sebagai (salah satu) orientasi pendidikan Islam di era globalisasi ini adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Sebab eksis tidaknya suatu bangsa sangat ditentukan oleh akhlak masyarakatnya.







PENUTUP


Dari beberapa penjelasan singkat diatas, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut :
1.   Hakikat pendidikan Islam ialah untuk membimbing anak didik dalam perkembangan dirinya, baik jasmani maupun rohani menuju terbentuknya kepribadian yang utama pada anak didik nantinya yang didasarkan pada hukum-hukum islam. Sedangkan hakikat dari Globalisasi bukan sekedar banjir barang, melainkan akan melibatkan aspek yang lebih luas, mulai dari keuangan, pemilikan modal, pasar, teknologi, daya hidup, bentuk pemerintahan, sampai kepada bentuk-bentuk kesadaran manusia.
2.   Problematika Pendidikan Islam di era global ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal yang didalmnya ada : Relasi Kekuasaan dan Orientasi Pendidikan Islam, Masalah Kurikulum, Pendekatan/Metode Pembelajaran, Profesionalitas dan Kualitas SDM, dan Biaya Pendidikan. Dan faktor eksternal yang meliputi Dichotomic, To General Knowledge, Lack of Spirit of Inquiry, Memorisasi, dan Certificate Oriented.
3.   Solusi dari problematika tesebut ialah pendidikan Islam harus dikembalikan kepada fitrahnya dengan tanpa mengesampingkan dimensi-dimensi penting lainnya yang harus dikembangkan dalam institusi pendidikan, baik formal, informal, maupun nonformal.  Serta pendidikan harus dirancang sedemikian rupa yang memungkinkan para peserta didik mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif dalam suasana penuh kebebasan, kebersamaan, dan tanggung jawab.
4.   Pendidikan Islam di Era Global ini diorientasikan bahwa Pendidikan Islam sebagai Proses Penyadaran, sebagai Proses Humanisasi, dan sebagai Pembinaan Akhlak al-Karimah


REFERENSI


Kneller, George F. 1971. Introduction to the Philosophy of Education. John Willey Sons Inc, New York.
Sadulloh, U. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. CV Alfabeta, Bandung.
Sindhunata. 2000. Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Kanisius, Yogyakarta
Soedijarto. 1993. Menuju Pendidikan Nasional yang Relevan dan Bermutu. Balai Pustaka, Jakarta.
Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. PT Bayu Indra Grafika, Yo



 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 













Tidak ada komentar:

Posting Komentar