Sumber : http://raytkj.blogspot.com/2011/03/cara-pasang-read-more-otomatis-di-blog.html#ixzz1z7yeR7Nh

Rabu, 18 April 2012

TUGAS MANAJEMEN PERBANKAN ISLAM ( Ijarah & IMBT )


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari – hari, masyarakat memiliki kebutuhan – kebutuhan yang harus dipenuhi baik kebutuhan primer, sekunder maupun tersier. Ada kalanya masyarakat tidak memiliki cukup dana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karenanya, dalam perkembangan perekonomian masyarakat yang semakin meningkat muncullah jasa pembiayaan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non bank.
Dalam operasionalnya, Bank Syariah memberi jasa-jasa dalam beberapa bentuk, yaitu: musyarakah, murabahah, mudharabah, dan ijarah. Bank Syari’ah dan Lembaga Keuangan Syari’ah lainnya dalam melayani produk pembiayaan, mayoritas masih terfokus pada produk-produk murabahah (prinsip jual beli). Pembiayaan ijarah memiliki kesamaan dengan pembiayaan murabahah karena termasuk dalam katagori natural certainty contracts dan pada dasarnya adalah kontrak jual beli. Perbedaan antara ijarah dan murabahah terletak pada objek transaksi yang diperjualbelikan yaitu dalam pembiayaan murabahah yang menjadi objek transaksi adalah barang, seperti tanah, rumah, mobil dan sebagainya, sedangkan dalam pembiayan ijarah, objek transaksinya adalah jasa, baik manfaat atas barang maupun manfaat atas tenaga kerja, sehingga dengan skim ijarah, bank syari’ah dan lembaga keuangan syari’ah lainnya dapat melayani nasabah yang membutuhkan jasa.
Bentuk pembiayaan ijarah merupakan salah satu teknik pembiayaan ketika kebutuhan pembiayaan investor untuk membeli aset terpenuhi dan investor hanya membayar sewa pemakaian tanpa harus mengeluarkan modal yang cukup besar untuk membeli aset tersebut. Secara umum timbulnya ijarah disebabkan oleh adanya kebutuhan akan barang atau manfaat barang oleh nasabah yang tidak memiliki kemampuan keuangan. Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat (hak guna), bukan perpindahan kepemilikan (hak milik). Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli tapi perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya barang, sedangkan pada ijarah objek transaksinya adalah barang dan jasa.
Pada saat ini telah berkembang pembiayaan Bank Syariah dengan prinsip ijarah tapi diakhiri dengan kepemilikan barang yang disebut dengan Ijarah Muntahiyah BitTamlik, yang disingkat dengan IMBT. Dengan pembiayaan IMBT, seseorang yang memerlukan suatu barang bisa menyewa kepada bank syariah dan diakhir periode sewa dia bisa memiliki barang tersebut. Perpindahan kepemilikan barang bisa dengan jual beli atau hibah. Satu permasalahan yang muncul dalam pembiayaan IMBT ini, yaitu memungkinkan terjadinya ketidakadilan bagi pihak yang memberikan pembiayaan karena transaksi yang digunakan adalah uang Fiat dan kemungkinan menurunnya nilai uang di masa yang akan datang sehingga menurunnya daya beli kembali dari barang yang menjadi objek IMBT. Untuk itu diperlukan suatu solusi agar muamalah jangka panjang –dalam hal ini pembiayaan IMBT- menjadi adil dalam arti tidak ada pihak yang dirugikan. Oleh karena itu Penulis tertarik untuk menulis makalah ini dengan judul : Pembiyaan Ijarah dan IMBT

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat di rumuskan yaitu:
Bagaimana Pembiayaan Ijarah Dan IMBT Pada Bank Syariah ?

C.    Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini selain untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Manajemen Perbankan Islam penulis juga ingin manambah wawasan tentang Pembiyaan Ijarah dan IMBT khususnya, dan sebagai pengingat di kala lupa bagi pembaca pada umumnya , serta untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi disekitar  kita.






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pembiayaan Ijarah
Al-ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang dan jasa, melalui pembayaran upah sewa,tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyyah). Definisi mengenai prinsip Ijarah juga telah diatur dalam hukum positif Indonesia yakni dalam Pasal 1 ayat 10 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 yang mengartikan prinsip ijarah sebagai transaksi sewa menyewa atas suatu barang atau upah mengupah atas suatu usaha jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa. Bank syariah hanya dapat melayani kebutuhan nasabah untuk memiliki barang, sedangkan nasabah yang membutuhkan jasa tidak dapat dilayani. Dengan skim Ijarah, bank syariah dapat pula melayani nasabah yang hanya membutuhkan jasa.
Pada dasarnya ijarah didefinisikan sebagai hak untuk memanfaatkan barang atau jasa dengan membayar imbalan tertentu. Menurut Fatwa Dewan Syarah Nasional No.09/DSN/MUI/IV/2000, Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat ) atas
suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri, dengan demikian dalam akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan, tetapi hanya pemindahan hak guna saja dari yang menyewakan kepada penyewa. Dalam kegiatan perbankan Syariah pembiayaan melalui Ijarah dibedakan menjadi dua yaitu :
1.      Didasarkan atas periode atau masa sewa biasanya sewa peralatan. Peralatan itu disewa selama masa tanam hingga panen. Dalam perbankan Islam dikenal sebagai Operating Ijarah.
2.      Ijarah Muntahiyyah Bit-Tamlik di beberapa negara menyebutkan sebagai Ijarah Wa Iqtina yang artinya sama juga yaitu sama juga yaitu menyewa dan setelah itu diakuisisi oleh penyewa ( finance lease ).

Dalam hal penggunaan prinsip syariah pada pembiayaan ijarah, Ijarah adalah akad sewa menyewa, sedangkan pembiayaan ijarah adalah perjanjian untuk membiayai kegiatan sewa menyewa. Pada ijarah, bank hanya wajib menyediakan aset yang disewakan, baik aset itu miliknya atau bukan miliknya yang penting adalah bank mempunyai hak pemanfaatan atas aset yang kemudian disewakannya. Fatwa DSN tentang ijarah ini kemudian diadopsi kedalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 59 yang menjelaskan bahwa bank dapat bertindak sebagai pemilik objek sewa, dan bank dapat pula bertindak sebagai penyewa yang kemudian menyewakan kembali (para 129). Namun tidak seluruh fatwa DSN diadopsi oleh PSAK 59, misalnya fatwa DSN mengatur bahwa objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa; sedangkan PSAK 59 hanya mengakomodir objek ijarah yang berupa manfaat dari barang.
Pada pembiayaan ijarah, bank berkedudukan sebagai penyedia uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu dalam rangka penyewaan barang berdasarkan prinsip ijarah. Mengikuti penjelasan ijarah dalam PSAK 59, maka pembiayaan ijarah dapat digunakan untuk membiayai penyewaan barang yang kemudian disewakannya kembali kepada nasabah, dan dapat pula digunakan untuk membiayai pembelian barang yang kemudian disewakannya kepada nasabah. Adapun fatwa DSN yaitu:
a.       Rukun dan Syarat Ijarah
·         Sighat Ijarah, yaitu ijab dan qabul berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berkontrak, baik secara verbal atau dalam bentuk lain.
·         Pihak-pihak yang berakad (berkontrak): terdiri atas pemberi sewa/pemberi jasa, dan penyewa/pengguna jasa.
·         Obyek akad Ijarah, yaitu:
a)      Manfaat barang dan sewa
b)      Manfaat jasa dan upah.

b.      Ketentuan Obyek Ijarah
·         Obyek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa.
·         Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
·         Manfaat barang atau jasa harus yang bersifat dibolehkan (tidak diharamkan).
·         Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syari’ah.
·         Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan (ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan sengketa.
·         Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
·         Sewa atau upah adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada LKS sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga (tsaman) dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa atau upah dalam Ijarah.
·         Pembayaran sewa atau upah boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek kontrak.
·         Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa atau upah dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.

c.       Kewajiban LKS dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijarah
·         Kewajiban LKS sebagai pemberi manfaat barang atau jasa:
a)      Menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan.
b)      Menanggung biaya pemeliharaan barang.
c)      Menjamin bila terdapat cacat pada barang yang disewakan.
·         Kewajiban nasabah sebagai penerima manfaat barang atau jasa:
a)      Membayar sewa atau upah dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan barang serta menggunakannya sesuai akad (kontrak).
b)      Menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan (tidak materiil).
c)      Jika barang yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak penerima manfaat dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.




B.     Prinsip Sewa (Ijarah)
Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat ( hak guna ), bukan perpindahan kepemilikan (hak milik). Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jua beli, tapi perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jua beli objek transaksinya barang, pada ijarah objek transaksinya adalah barang maupun jasa.
Pada dasarnya, ijarah didefinisikan sebagai hak untuk memanfaatkan barang / jasa dengan membayar imbalan tertentu. Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional, ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembiayaan sewa/ upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Dengan demikian daam akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan, tetapi hanya perpindahan hak guna saja dari yang menyewakan kepada penyewa.

C.    Proses Pembiayaan Ijarah
·         Nasabah mengajukan pembiayaan ijarah ke bank syari’ah.
·         Bank Syari’ah membeli/menyewa barang yang diinginkan oleh nasabah sebagai objek ijarah, dari supplier/penjual/pemilik.
·         Setelah dicapai kesepakatan antara nasabah dengan baik mengenai objek ijarah, tarif  ijarah, periode ijarah dan biaya pemeliharaannya, maka akad pembiayaan ijarah ditandatangani. Nasabah diwajibkan menyerahakan jaminan yang dimiliki.
·         Bank menyerahkan objek ijarah kepada nasabah sesuai akad yang disepakati. Setelah periode ijarah berakhir, nasabah mengembalikan objek ijarah tersebut kepada Bank.
·         Bila bank membeli objek ijarah tersebut (al-bai’ wal-ijarah), setelah periode ijarah berakhir objek ijarah tersebut dismpan oleh bank sebagai asset yang dapat disewakan kembali. Tetapi bila bank membeli objek ijarah tersebut (ijarah parallel), setelah periode ijarah berakhir objek ijarah tersebut dikembalikan oleh bank kepada supplier/penjual/pemilik.




D.    Ijarah dan Leasing
Ijarah adalah akad yang mengatur pemanfaatan hak guna tanpa terjadi pemindahan kepemiikan, maka banyak orang yang menyamakan ijarah ini dengan leasing. Hal ini terjadi karena kedua istiah tersebut sama-sama mengacu pada ha ihwal sewa menyewa. Menyamakan ijarah dengan leasing tidak sepenuhnya salah, tapi tidak sepenuhnya benar pula. Karena pada dasarnya, walaupun terdapat kesamaan antara ijarah dan leasing, tapi ada beberapa karakteriristik yang membedakannya yaitu:
a.       Objek
Dilihat dari segi objek yang disewakan, leasing hanya berlaku untuk menyewa barang saja. Sementara dalam ijarah, objek yang disewakan bisa berupa barang ataupun jasa. Ijarah bila diterapkan untuk mendapatkan manfaat barang disebut sewa menyewa, sedangkan bila diterapkan untuk mendapatkan manfaat tenaga kerja/jasa disebut upah mengupah. Dengan demikian, dilihat dari segi objeknya, ijarah mempunyai cakupan yang lebih luas dari leasing.

b.      Metode Pembayaran
Dari segi metode pembayarannya, leasing hanya memiliki satu metode pembayaran yakni bersifat not contingent to performance, artinya pembayaran sewa pada kinerja objek yang disewa. Sedangkan dalan ijarah terdapat dua metode pembayaran, yaitu ijarah yang pembayarannya tergantung pada kinerja objek yang disewa (contingent to performance) dan ijarah yang pembayarannya tidak tergantung pada kinerja objek yang disewa (not contingent to performance). Ijarah yang pembayarannya tergantung pada kinerja objek yang disewa disebut ijarah,  gaji/sewa. Sedangkan ijarah yang pembayarannya tidak tergantung pada kinerja objek yang disewa disebut ju’alah, atau success fee. Contoh :  dalam upah-mengupah buruh bangunan dikenal dua macam sistem: sistem yaitu sistem upah harian dan sistem upah borongan. Upah harian adalah contoh ijarah dan sistem upah borongan adalah contoh ju’alah.



c.       Perpindahan Kepemilikan
Dari aspek pemindahan kepemilikan, dalam leasing dikenal dua jenis yaitu operating lease dan financial lease. Dalam operating lease, tidak terjadi pemindahan kepemilikan aset baik di awal maupun di akhir periode sewa. Dalam financial lease, di akhir periode sewa si penyewa diberikan pilihan untuk membeli atau tidak membeli barang yang disewa. Namun pada praktiknya (khususnya di Indonesia), dalam financial lease sudah tidak ada opsi lagi untuk membeli atau tidak membeli karena pilihan itu sudah ditentukan di awal periode. Di lain pihak, ijarah sama seperti operating lease, yakni tidak ada transfer of title baik di awal maupun akhir periode. Namun demikian, pada akhir masa sewa bank dapat saja menjual barang yang disewakannya kepada nasabah karena itu dalam perbankan syariah dikenal dengan ijarah muntahiyah bittamlik (IMBT) atau sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan. Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian. Kepemilikan barang bisa terjadi dengan menghibahkan barang di akhir periode sewa (IMBT with a promise to hibah) atau dengan menjual barang pada akhir periode sewa (IMBT with a promise to sell).

d.      Lease – Purchase
Variasi lainnya dari leasing adalah lease-purchase (sewa-beli), yakni kontrak sewa sekaligus beli. Dalam kontrak sewa beli ini, perpindahan  kepemilikan ter jadi selama periode sewa secara bertahap. Bila konrak sewa-beli ini dibatalkan, hak milik barang terbagi antara milik penyewa dengan milik yang menyewakan.
Dalam syariah, akad lease and purchase ini diharamkan karena adanya two in one (dua akad sekaligus, atau dalam bahasa arabnya: shafqatain fi al-shafqah). Ini menyebabkan gharar dalam akad, yakni ada ketidak jelasan akad : apakah yang berlaku akad sewa atau akad beli. Two in one terjadi bila semua dari ketiga faktor di bawah ini terpenuhi:
a.       Objeknya sama
b.      Pelakunya sama
c.       Jangka waktunya sama

e.       Sale and Lease Back
Sale and lease-back terjadi bila, misalnya A menjual barang X ke B, tetapi karena A tetap ingin memiliki barang X tersebut, B menyewakannya kembali ke A dengan kontrak financial lease, sehingga A mempunyai pilihan untuk memiliki barang X tersebut diakhir periode.
sekarang, misalkan A menjual barang X seharga Rp 120 juta secara cicilan kepada B, dengan syarat bahwa B harus kembali  menjual barang X barang tersebut kepada A secara tunai seharga Rp 100 juta. Transaksi diatas haram, karena ada persyaratan bahwa A bersedia mejual barang X ke B asalkan B kembali menjual barang tersebut kepada A. dalam kasus diatas, disyaratkan bahwa akad 1 berlaku efektif bila akad 2 dilakukan. Penerapan syarat ini mencegah terpenuhi rukun. Dalam istilah fiqih, jual-beli seperti ini dinamakan Bai al-‘Inah, terjadi Ta’alluq, karena itu transaksi ini haram.

E.     Ijarah Munthia Bittamlik (IMBT)
Al-bai’ wal ijarah muntahia bittamlik (IMBT) merupakan rangkaian dua buah akad al-bai’dan akad ijarah  muntahia bittamlik (IMBT). Al-bai’ merupakan akad jual-beli, sedangkan IMBT merupakan kombinasi antara sewa-menyewa (ijarah) dan jual beli atau hibah diakhir masa sewa. Dalam ijarah mintahia bittamlik, pemindahan hak milik barang terjadi dengan salah satu dari dua cara berikut ini:
1.   Pihak yang menyewakan berjanji akan menjual barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa.
2.   Pihak yang menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang  disewakan tersebut pada akhir masa sewa.

Pilihan untuk menjual barang diakhir masa sewa (alternatif 1) biasanya diambil bila kemampuan financial penyewa untuk membayar sewa relatif kecil. Karena sewa yang  dibayarkan relatif kecil,  akumulasi nilai sewa yang sudah dibayarkan sampai akhir periode sewa belum mencukupi harga beli untuk menutupi kekurangan tersebut, bila pihak penyewa ingin memiliki barang tersebut, ia harus membeli barang itu diakhir periode. Pilihan untuk menghibahkan barang diakhir masa sewa (alternatif 2) biasanya diambil bila kemampuan financial penyewa untuk membayar sewa relatif lebih besar. Karena sewa yang dibayarkan relatif besar, akumulasi sewa diakhir periode sewa sudah mencukupi untuk menutupi harga beli barang dan margin laba yang ditetapkan oleh bank. Dengan demikian, bank dapat menghibahkan barang tersebut diakhir masa periode sewa kepada pihak penyewa.
Pada al-bai’ wal ijarah muntahia bittamlik (IMBT) dengan sumber pembiayaan dari unrestricted investment account (URIA), pembayaran oleh nasabah dilakukan secara bulanan. Hal ini disebabkan karena pihak bank harus mempunyai cash in setiap bulan untuk memberikan bagi hasil kepada para nasabah yang dilakukan secara bulanan juga.

F.     Perbedaan Ijarah dan IMBT
Perbedaan antara pembiayaan Murabahah dan IMBT dapat dilihat dari aspek :
1.      Aspek akad
Dari sisi akad, antara pembiayaan Murabahah dan IMBT terlihat jelas mengandung perbedaan. Pembiayaan murabahah menggunakan akad jual-beli (al-ba’i). Oleh karena itu, syarat dan rukun jual-beli dalam pembiayaan Murabahah harus terpenuhi. Sedangkan dalam pembiayaan IMBT digunakan akad sewa menyewa yang prakteknya disertai wa’ad (janji) dari pihak yang menyewakan untuk memindahkan kepemilikan barang disewakan kepada pihak penyewa. Begitu pula dalam pembiayaan IMBT, syarat dan rukun sewa juga harus terpenuhi di dalamnya. IMBT yang secara harfiah berarti sewa yang diakhiri dengan kepemilikan mensyaratkan perpindahan hak milik ada di akhir akad.

2.      Aspek relasi antar pihak
Sedangkan dari sisi relasi antar pihak yang melakukan akad, dalam pembiayaan murabahah hubungan yang terjalin antara pihak bank syariah dengan nasabah adalah hubungan antara penjual dan pembeli. Sedangkan dalam pembiayaan IMBT, hubungan yang terjalin antara pihak bank syariah dengan nasabah adalah hubungan antara pihak yang menyewakan dan pihak penyewa.

3.      Aspek perpindahan kepemilikan
Adapun dari aspek perpindahan kepemilikan, dalam pembiayaan murabahah perpindahan kepemilikannya terjadi di awal akad. Misal, pihak bank syariah melakukan transaksi jual-beli rumah dengan nasabah. Berarti sejak awal akad (kontrak), rumah tersebut telah menjadi hak milik nasabah. Dalam hal ini, nasabah diberi kelonggaran oleh bank syariah melakukan pembayaran secara angsuran sesuai dengan periode waktu yang disepakati. Sedangkan dalam pembiayaan IMBT, pelaksanaan perpindahan kepemilikan terjadi di akhir kontrak (akad), di mana bank syariah selaku pihak yang menyewakan berjanji untuk memindahkan kepemilikan kepada nasabah.

4.      Aspek risiko yang timbul.
Dari sisi risiko yang timbul, dalam pembiayaan Murabahah besaran pembayaran yang dilakukan oleh nasabah mulai dari awal sampai akhir jumlahnya sama (fix). Dari sisi risiko, pihak bank syariah dan pihak nasabah tidak dibebani oleh fluktuasi margin murabahah seperti yang terjadi dalam suku bunga di industri perbankan konvensional. Lain halnya dengan IMBT, margin yang diperoleh pihak bank syariah berupa biaya sewa yang dibebankan kepada nasabah. Dalam hal ini, bank syariah dapat mereveiw margin sewa yang berjalan sesuai dengan kondisi makro keuangan di pasar. Akibatnya, risiko yang muncul dalam pembiayaan IMBT memungkinkan adanya fluktuasi cicilan sewa yang dibayarkan oleh nasabah.

G.    Pembiayaan IMBT
Adapun pembiayaan dalam ijarah muntahia bittamlik yaitu:
·         Nasabah memesan untuk menyewa barang kepada Bank.
·         Bank membeli dan membayar barang kepada Supplier.
·         Supplier mengirim barang kepada Nasabah.
·         Nasabah membayar sewa kepada Bank.
·         Masa sewa diakhiri dengan nasabah membeli barang tersebut.
BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Pada dasarnya, produk yang ditawarkan oleh perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu: produk penyaluran dana, produk penghimpunan dana dan produk jasa. Dalam penyaluran dana (pembiayaan), salah satu kategorinya adalah pembiayaan dengan prinsip sewa (ijarah). Transaksi Ijarah yaitu akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah. Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakannya kepada nasabah. Karena itu dalam perbankan syariah dikenal Ijarah Muntahiah Bittamlik (IMBT), merupakan sewa menyewa antara pemilik objek sewa dengan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek yang disewakan dengan opsi perpindahan hak milik objek sewa pada saat tertentu sesuai akad.
B.     SARAN
Pembiyaan Ijarah dan IMBT, merupakan 2 hal yan akan memberikan kemudahan kepada kita, oleh karena marilah untuk selalu mengutamakan Perbankan Syari’ah dalam memilih transaksi – transaksi dengan perbankan dan memilih yang benar – benar tepat dengan kebutuhan kita.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar