Sumber : http://raytkj.blogspot.com/2011/03/cara-pasang-read-more-otomatis-di-blog.html#ixzz1z7yeR7Nh

Kamis, 03 November 2011

Tugas Ekonomi Pembangunan

TUGAS MANDIRI
EKONOMI PEMBANGUNAN
BY : ELSA MAHROMI
         Apakah  Paradigma Makna Pembangunan  antara MIMPI atau NORMATIF ???
Jawabannya menurut saya masih suatu Mimpi, karena sesuatu yang masih  belum terwujud itu merupakan suatu Mimpi, Namun Mimpi tentang Makna Pembangunan yang sesungguhnya itu Bisa  diwujudkan dengan paradigma Normatif, yang peduli  Sosial, meskipun butuh proses yang lama untuk untuk mewujudkan Mimpi tersebut, semakin hari masalah sosial terus bertambah karena kebijakan pembangunan yang  hanya peduli keuntungan tapi mengabaikan asfek Non Ekonomi, SEHINGGA MAKNA PEMBANGUNAN ADALAH MIMPI YANG  BELUM TERWUJUD


Mengamati perjalanan pembangunan yang dilakukan banyak negara di dunia hampir selalu menimbulkan decak kekaguman bagi siapapun yang betul-betul memperhatikannyanya dari sisi kemegahan keduniaan. Pembangunan ekonomi yang dielu-elukan sontak membuat setiap pandangan hidup manusia ekonomi mengarah pada pemenuhan materi kekayaan dan kepuasan (utilitas) atas keinginan-keinginan yang timbul bersama hasrat dari dalam dirinya. Kemegahan mercusuar dan kemegahan imperium ekonomi ini lahir dari rahim pembangunan ekonomi yang dengan yakin mampu membawa pada kemakmuran kolektif sebagaimana normatifnya tujuan ekonomi.
Hidup menjadi modern dengan beragam teknologi, pesatnya ilmu pengetahuan, kebebasan sosial-politik dan kesetaraan hak kemanusiaan. Itu semua adalah produk-produk yang secara langsung ditelurkan ilmu ekonomi yang telah membuktikan ke-ekonomian-nya. Bersama kemegahan dan kedigdayaan ekonomi sekarang (konvensional) ternyata juga masih menyisakan ‘kemegahan’ istana-istana gubuk di belahan bumi yang lain. Terdapat ‘imperium’ ekonomi ‘busung lapar’ yang boleh jadi korban atas tidak adanya akses ekonomi yang memadai untuk memenuhi kebutuhan keekonomiannya. Sembari sangat yakin bahwa ada hak ekonomi yang secara paksa terampas.
Secara sosial tidak terdistribusikan. Dan secara politik terabaikan, kalau tidak disebut sebagai pemerasan. Maka, siapapun harus sangat yakin betapa harta juga kekayaan yang secara sengaja ataupun tidak telah ‘merampas’ hak ekonomi orang lain pada sebagian masyarakat negara dan masyarakat lintas negara. Kaidah ekonomi mengatakan bahwa hampir setiap kekayaan dan harta itu berpusat pada golongan tertentu yang secara kesepakatan sosial disebut golongan kaya.
Oleh karena itu jika pandangan ekonomi hanya dilihat dari sisi pemenuhan kepuasan pribadi dan penumpukkan harta kekayaan, maka kemakmuran sejatinya tidak akan pernah terwujud. Sebab, ada variable kebutuhan lain yang juga sama pentingnya dengan kepentingan pribadi. Yang ia juga menjadi penentu cepatnya kemakmuran itu terwujud. Variable ekonomi itu adalah kebutuhan sosial atau kolektif. Dimana kaidah untuk memenuhi kebutuhan sosial berarti ada ongkos pengorbanan yang dialokasikan dari kebutuhan pribadi atau individu. Ada beberapa nominal atau porsi yang selalu harus teralokasikan pada kebutuhan sosial jika ekonomi mau mewujudkan kemakmuran kolektif.
Hal inilah yang tampaknya belum jadi dan bahkan tidak akan menjadi konsep ekonomi sekarang (konvensional). Sebab konsepnya bermula dari pandangan dunianya yang utilitarian. Dimana salah satu masalah ekonominya adalah untuk mengatasi keinginan yang tidak terbatas atas sumber daya yang terbatas. Ditekankan lagi oleh para ekonom yang berpandangan sekuler yang menyatakan bahwa dogma-dogma agama hanyalah isapan jempol belaka dan tidak perlu terlalu repot untuk mengurusi kepentingan manusia.
Jikapun ada konsep pemenuhan kebutuhan sosial ekonomi, itupun diasumsikan pada cara-cara yang keliru dan gegabah. Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nation, mengatakan bahwa memenuhi kepuasan pribadi atau individu secara terus-menerus pada akhirnya akan memenuhi kepuasan masyarakat secara umum atau terpenuhinya kebutuhan kolektif. Inilah yang ia sebut sebagai Invisible Hand.
Diantara kegagalan ekonomi konvensional dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran adalah disebabkan karena pandangan-pandangannya terhadap dunia (worldview) yang sekuler telah mengilhami mekanisme-mekanisme ekonomi yang sama sekulernya dengan pandangan tadi. Meskipun sejak beberapa kali tertimpa krisis sehingga sedikit mengubah tujuan ekonominya ‘agak’ lebih humanis, tetapi dilakukan dengan cara-cara (positivisme) yang sama sekali tidak mengarah pada kemakmuran itu. Oleh karenanya, jika ilmu ekonomi konvensional saat ini juga tidak ada niatan untuk mengubah pandangan hidup terhadap dunianya, maka mimpi-mimpi kemakmuran hanya ada dalam tidur-tidur yang panjang. Sedang ketika ia bangkit dari tidurnya, barulah tersadar bahwa ironi-ironi ekonomi ada diantaranya.
Dan jika ilmu ekonomi konvensional yang yang hanya ingin mencapai keuntungan dan mengabaikan asfek sosial, terus diterapakan maka makna Pembangunan yang sesungguhnya benar-benar  hal itu hanya akan jadi  mimpi belaka, maka dibutuhkan suatu pembangunan Ekonomi yang mengakomodasi nilai-nilai sosial dan menjadi jalan terwujudnya kemakmuran dunia. Ilmu ekonomi Yang akan mampu mewujudkan makna Pembangunan yang sesungguhnya hanyalah satu  Ilmu Ekonomi yaitu  Ilmu ekonomi islam, yang berdasarkan syari’at dan tuntunan Al – Qur’an dan Hadits.                                                 Manifes Ekonomi “Pasar Kerakyatan”
            Sebagai bangsa yang merdeka, tidak ada obat yang mujarab untuk menyembuhkan
penyakit krisis ekonomi kecuali kita harus mandiri di bidang ekonomi, berdaulat di bidang politik. Konsekwensinya kita harus kembali hidup sederhana, berpikir sederhana, bersikap sederhana, dan berperilaku sederhana sesuai dengan kondisi riil kita. Manifes ekonomi pasar kerakyatan diharapkan mampu menghadapi hegemoni dan dominasi kaum kapitalis asing.    Rincian manifes ekonomi pasar kerakyatan dapat dirinci sebagai berikut:
1.  Petani harus mendapat hak atas tanah garapan. Negara harus berkuasa penuh
atas tanah yang dilindungi oleh undang-undang. Tanah, khususnya tanah produktif
untuk pertanian, tambang, dan industri penggunaannya harus diatur oleh negara.
Tanah tidak boleh dijadikan komoditi untuk mencari keuntungan. Dengan semua
petani memperoleh hak guna usaha atas tanah pertanian, berarti semua mempunyai
pekerjaan, dan berarti pula mempunyai penghasilan dan daya beli.
2. Nelayan harus mendapat hak atas perairan (darat, laut). Negara harus berkuasa
penuh atas perairan yang dilindungi oleh undang-undang. Wilayah perairan, khususnya
perairan produktif untuk pertanian, tambang, dan industri penggunaannya harus
diatur oleh negara. Wilayah perairan tidak boleh dijadikan komoditi untuk mencari
keuntungan. Dengan semua nelayan memperoleh hak guna usaha atas wilayah perairan,
berarti semua mempunyai pekerjaan, dan berarti pula mempunyai penghasilan dan
daya beli.
3.  Buruh harus mendapat hak untuk ikut berperan serta dalam merumuskan strategi,
kebijakan, program kerja, dan evaluasi kinerja perusahaan. Buruh sebagai pihak
yang menghasilkan keuntungan bagi perusahaan harus dimanusiawikan, tidak boleh
dihisap, diperas, dan ditindas oleh pemilik kapital. Negara harus berkuasa penuh
atas dunia usaha swasta dan dunia perburuhan yang dilindungi oleh undang-undang.
Kegiatan usaha swasta dan perburuhan harus diatur oleh negara. Buruh tidak boleh
dijadikan komoditi untuk mencari keuntungan. Dengan semua buruh memperoleh kesempatan
kerja berarti semua mempunyai pekerjaan, dan berarti pula mempunyai penghasilan
dan daya beli.
4.  Pengusaha kecil dan menengah harus mendapat bimbingan manajemen dan pinjaman
modal (bukan pemberian) dari pemerintah. Negara harus berkuasa penuh atas dunia
usaha kecil dan menengah (UKM) yang dilindungi oleh undang-undang. Kegiatan
UKM harus diatur oleh negara. Dengan semua UKM memperoleh bantuan manajemen
dan bantuan pinjaman modal dari negara, berarti semua mempunyai pekerjaan, dan
berarti pula mempunyai penghasilan dan daya beli.
5.  Koperasi harus dijalankan sesuai dengan misinya yaitu memenuhi kebutuhan
para anggota, bukan sarana untuk mencari keuntungan bagi pengurusnya. Negara
harus berkuasa penuh atas tumbuh dan hidupnya koperasi yang dilindungi oleh
undang-undang. Kegiatan usaha koperasi harus diatur oleh negara. Dengan semua
anggota masyarakat memperoleh kesempatan berkoperasi berarti semua kebutuhannya
dapat dipenuhi, masyarakat hidup makmur. Orang-orang yang mengelola koperasi
harus bermoral kerakyatan dan berjiwa nasionalis patriotik.
6.  BUMN harus dikelola oleh warganegara yang memiliki komintmen cinta tanah
air dan kebangsaan. Negara harus berkuasa penuh atas tumbuh dan hidupnya BUMN
yang dilindungi oleh undang-undang. Kegiatan usaha BUMN harus diatur oleh negara.
Orang-orang yang mengelola BUMN harus bermoral kerakyatan dan berjiwa nasionalis
patriotik.
7.  Pengusaha Nasional harus warganegara yang memiliki komitmen cinta tanah air
dan kebangsaan. Negara harus berkuasa penuh atas tumbuh dan hidupnya Pengusaha
Nasional yang dilindungi oleh undang-undang. Kegiatan usaha Pengusaha Nasional
harus diatur oleh negara dan dibantu oleh negara agar mampu menghadapi atau
bekerjasama dengan Pengusaha Asing. Orang-orang yang menjadi Pengusaha Nasional
harus bermoral kerakyatan dan berjiwa nasionalis patriotik.
            Ketujuh unsur di atas harus didasarkan Pasal 33 UUD 1945 adalah merupakan dasar
ekonomi kerakyatan. Jika dilaksanakan oleh negara (eksekutif, legislatif, judikatif,
dan Angkatan Bersenjata) yang bersih, dapat dipastikan dapat menghantarkan rakyat
Indonesia ke dalam kehidupan yang adil dan makmur.
            Dalam melaksanakan ekonomi kerakyatan, pihak modal asing diperkenankan ikut
mencari kehidupan di negeri kita dengan ketentuan aktivitasnya diatur dan dikontrol
oleh negara. Orang-orang yang ditugasi untuk mengatur dan mengkontrol kegiatan
modal asing harus bermoral kerakyatan dan berjiwa nasionalis patriotik.
            Hakikatnya manifes ekonomi kerakyatan adalah ekonomi yang diatur oleh negara
yang bersih, artinya orang-orang yang mengelola negara harus bermoral kerakyatan
dan berjiwa nasionalis patriotik. Kemakmuran bangsa diutamakan.
                      http://www.syarikat.org/content/manifes-ekonomi-pasar-rakyat

BAGAIMANA MEWUJUDKAN  PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN  YANG NORMATIF /  BERKEADILAN SOSIAL ? ? ?
            Kini saatnya memformulasikan kebijakan ekonomi yang berkeadilan sosial yang memutus keterikatan dan ketergantungan kepada agenda globalisasi. WTO dan IMF telah membatasi pilihan-pilihan kebijakan yang ada dan memaksakan kebijakan yang hanya sesuai dengan agenda mereka.
            Pada masa lalu mereka memakai pendekatan “Economic Growth” (pertumbuhan ekonomi) sebagai doktrin, dan sekarang mereka menambahkan “Kompetisi Bebas” sebagai doktrin. Ini harus ditentang dan dicarikan alternatifnya. Ada banyak alternatif yang tersedia sebenarnya, asalkan kita tidak “turut dan manut” saja terhadap pasar bebas / globalisasi. Oleh karena itu berbagai kelompok nasional harus berembuk dan berdialog bersama guna menetapkan pokok-pokok pandangan dan visi nasional yang non-Pasar Bebas. Banyak alternatif yang mungkin dilakukan (There Are Many Alternatives), yaitu:
1.  Sistem ekonomi jangan berprinsip pasar bebas (liberalisme ekonomi). Haruslah menconto berbagai pengalaman negara lain, termasuk AS, Jerman dan Jepang, yang dalam sejarahnya juga memakai ekonomi merkantilis dan proteksionis ketimbang pasar bebas di masa awal pembangunannya. Indonesia masih dalam tahap-tahap awal perkembangannya, dan karenanya perlu menerapkan ekonomi yang proteksionis dan kerakyatan.
2.  Sistem ekonomi haruslah mendahulukan pasar domestik dan menaruh di belakang orientasi pada pasar ekspor. Sistem ekonomi dikembangkan untuk memperkuat produksi domestic untuk pasar dalam negeri, sehingga memperkuat perekonomian rakyat; dan bukan untuk melayani kepentingan TNC dan konglomerat atas pasar eksport.
3.  Pertanian dijadikan prioritas utama perekonomian, karena di sinilah hidup mayoritas rakyat. Karena itu alokasi untuk sektor pertanian (termasuk kelautan dan perikanan) harus lebih besardari yang lain-lainnya. Pertanian harus dirubah melalui agrarian reform, sehingga terjadi distribusi tanah dan sumberdaya yang merata. Selain itu diadakan berbagai kemudahan dan fasilitas serta perlindungan bagi petani untuk memperkuat sektor pertanian.
4.  Industrialisasi berdasarkan pada bahan baku setempat, sehingga tidak tergantung impor dari luar. Ini berarti di satu pihak memperkuat sektor pertanian, sektor kelautan dan lain-lainnya; serta memperkuat sektor industri itu sendiri serta industri-industri kecil yang terkait dengannya.
5.  Diadakan perekonomian yang berorientasi kepada kesejahteraan, yaitu negara menjalankan berbagai peran penyelenggaraan barang publik (public goods) dan prasarana publik (public facilities), seperti air, listrik, transportasi, kesehatan, pendidikan dan lainnya. Segala sesuatu yang bersifat publik haruslah bersifat gratis.
6.  Tidak tergantung kepada badan-badan multilateral, dan ikut serta merubah badan-badan tersebut agar menjadi badan yang terutama melayani kepentingan negara-negara Dunia Ketiga.
7.  Penghapusan sebagian besar hutang karena alasan-alasan etika, moral, dan ekonomi yang layak.
8.  Melepaskan diri dari rejim devisa bebas dan rejim nilai tukar mengambang bebas (free-float exchange rate); dan sebagai gantinya menetapkan kontrol modal (capital control) dan nilai tukar tetap (fixed exchange).
9.  Menyokong diadakannya Tobin Tax terhadap arus keluar masuk modal swasta yang saat ini merupakan ‘hot money’ dan volatilitasnya sangat tinggi.
10.  Menolak paham Neo-liberal dan mencari alternatif ilmu ekonomi yang lebih mencerminkan kepentingan rakyat dan nasional, seperti dengan neo-protectionism, neo-keynesianism, welfare state, ekonomi kerakyatan dan lain-lainnya.
11.  Demokrasi yang diarahkan bagi penguatan aspirasi rakyat dan organisasi rakyat; kebebasan berpikir, berbicara, berorganisasi; dan pemenuhan HAM sepenuhnya.
12.  Kerjasama Dunia Ketiga untuk bersama-sama menghadapi kepentingan negara-negara maju (G-7, OECD), untuk di dapat resolusi yang layak bagi Dunia Ketiga, seperti memperkuat kembali hasil yang telah dicapai UNCTAD lewat GSP (Generalized System of Preference) dan pengurangan hutang.
            Adapun rekomendasi kebijakan kongkrit yang perlu segera dilakukan agar kita bisa segera keluar dari keterikatan kepada kapitalisme global adalah sebagai berikut:
            Pertama, Indonesia tidak membutuhkan resep neo-lliberalisme sebagaimana saran IMF, Bank Dunia maupun WTO. Indonesia harus dapat memilah-milah liberalisasi macam apa yang memang dibutuhkan, dan liberalisasi macam apa yang harus ditolak mentah-mentah dan dibuang jauh-jauh.
            Kedua, Indonesia harus segera memulai membenahi diri sendiri dan mengerjakan PR-nya yang tidak kunjung diselesaikan, yaitu pemberantasan segera atas KKN, pemrosesan hukum atas semua pelaku KKN Orba, dan penyitaan harta jarahan kaum KKN untuk kepentingan negara dan program-program kesejahteraan rakyat.
            Ketiga, perekonomian Indonesia harus kembali ke rel-nya, yaitu ekonomi kerakyatan (sebagaimana yang digagas oleh Bung Karno, Bung Hatta dan lain-lain). Ekonomi kerakyatan ini menempatkan rakyat Indonesia sebagai kekuatan dasar perekonomian, yang mampu menggerakkan roda perekonomian lewat penguatan pasar domestik (nasional, wilayah,lokal); penguatan pertanian dan pedesaan yang masih sekitar 70% perekonomian nasional; dan penguasaan dan pengelolaan sepenuhnya kekayaan alam Indonesia yang melimpah-ruah.
            Keempat, memutus sepenuhnya ketergantungan pada badan-badan multilateral, seperti IMF, Bank Dunia dan WTO. Hutang yang merupakan mekanisme ketergantungan harus segera diputus, dengan menghapus hutang haram dan peringanan berbagai beban hutang lainnya. Demikian pula forum WTO harus dirubah menjadi forum bagi kepentingan negara-negara berkembang, dan untuk itu Indonesia harus memainkan peran yang kuat dan tegas, sebagai salah satu pemimpin Negara berkembang.
            Apakah dengan memutus keterikatan kepada kapitalisme global tersebut, berarti kita akan diasingkan atau mengisolasi diri. Tidak sama sekali! Indonesia tetap ada dalam kapitalisme global, sebagaimana RRC, Kuba, Vietnam, Libya, Iran atau Venezuela. Akan tetapi Indonesia tidak diikat oleh agenda neo-liberalisme, tetapi mempunyai kebijakan ekonomi-politiknya sendiri yang sesuai dengan kepentingan dan kebutuhannya sendiri. Bila tetap terikat, maka kita hanya akan menjadi bangsa kuli yang rendah. Bila tidak terikat, maka akan menjadi bangsa yang disegani dan tuan atas dirinya sendiri. Tentu saja tidak harus konfrontasional terhadap kekuatan kapitalisme global (yaitu AS dan Eropa Barat). Perjuangan politik tetap bebas-aktif dan berdaulat.  Perjuangan utamatetap di jalur ekonomi, yaitu dengan mensejahterakan rakyat miskin dan mengikis habis korupsi. Banyak hal yang harus dilakukan oleh Indonesia untuk merebut kembali “kedaulatannya”, sebagai bangsa yang besar dan kuat, dan tidak disepelekan dan diinjak-injak oleh negara-negara lain dan badan-badan global. Asumsi dasarnya adalah, kalau rakyat Indonesia kuat, maka negaranya juga akan kuat. Kalau rakyatnya sejahtera, maka negaranya juga akan sejahtera.  Kalau rakyatnya cerdas, maka negaranya juga akan cerdas. Inilah yang seharusnya terus dipikirkan oleh kita tentang Indonesia masa depan yang lepas dari diktator pasar kapitalisme global.
            Pada dasarnya kita harus ingat, bahwa Indonesia merupakan negeri agraris yang sebagian besar kehidupan rakyat bersandar pada sektor agraria.Bahkan hampir 60 persen lebih tenaga kerja terserap di sektor ini (Versi data BPS).Dalam agenda ekonimi kerakyatan sektor ini selayaknya menjadi perhatian serius bagi semua kalangan.Sayangnya sampai detik ini perbincangan dilevel elite maupun debat dikalangan akademik belum sepenuhnya menyentuh soal keadilan agraria.Kupikir ini sangat penting apabila ekonomi kerakyatan hendak menjadi perbincangan dalam tema di atas.
 
Sekilas  tentang  Pertanian  Nasional
            Sector makro kenyataannya telah kolaps, dengan ditandai beberapa industri besar yang mengalami kebangkrutan. Sebagai negeri agraris sector pertanian harus diletakkan sebagai pilar penyangga bagi pembangunan ekonomi berjangka panjang. Mengapa harus sector pertanian? Sepanjang satu daswarsa (1998-2008), disaat resesi ekonomi global sector ini hampir tidak tergoyahkan. Bahkan pada triwulan III-2008 menyumbang 4,3 persen pertumbuhan ekonomi nasional. Selain itu juga, pertanian mampu menyerap tenaga kerja sebesar 42,5 juta dari total angkatan kerja sebesar 108,1 juta jiwa. Walaupun diversifikasi mata pencaharian terjadi dimasyarakat pedesaan, diprediksikan maraknya gelombang PHK akan menambah jumlah orang yang bekerja di sector ini.
            Ironisnya roadmap pemabangunan agroindustri yaitu pengembangan pertanian yang berkualitas yang secara integral menghubungkan dengan sector lain seperti industri olahan belum juga dimunculkan pada level kebijakan elite. Sementara ketersediaan lahan sangat mengkhawatirkan, rata-rata kepemilikan lahan petani Indinesia kurang dari 0,3 hektar per kepala keluarga di jawa dan di luar jawa sekitar 1 hektar. Kondisi ini jauh dari nilai standart ekonomis, yang menurut para pakar untuk memenuhi standart nilai ekonomis untuk Jawa minimal kepemilikan lahan sekitar 2 hektar dan luar jawa 10 hektar. Luasan lahan besar banyak dikeasai perkebunan-perkebunan swasta yang berorientasi pada komoditas ekspor. Kebijakan revitalisasi tidak pernah mengkordinasikan produktivitas lahan, potensi pasar domestik dan perolehan devisa dengan menggenjot laju ekspor-impor mengakibatkan kompetisi penggunaan lahan, menciutnya pasardomestik serta terganggunya kesinambungan industri pangan nasional karena maraknya impor. Celakanya pemerintah terlalu lunak
 
            mengenakan biaya tariff impor, menurut beberapa sumber data, impor produk pertanian hanya sebesar 6,4 – 7 persen (tahun 2006-2007).  Sedangkan negara-negara yang berpendapatan menengah dan rendah memberlakukan tarif sebesar rata-rata 8,7 persen. Sangat wajar apabila Indonesia sering dibanjiri komoditas-komoditas impor pertanian dan bahkan bahan baku yang sebenarnya tersedia di dalam negeri.
            Menguatnya arus liberalisme telah menyeret sector pangan nasional ke tatanan struktur ekonomi glabal yang sudah mapan. Beberapa komoditas subsisten ekspor-impor, seperti gula, kopi, kakau, kedelai dan yang lainya, kebijakan harga sangatditentukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional dan agribisnis raksasa. Harga produk pangan yang cenderung fluktuatif akhirnya mempengaruhi pola tanam. Petani lebih memilih tanaman yang diperkirakan mampu bertahan dalam harga pasar demi mengurangi resiko. Selebihnya untuk mencukupi konsumsi dalam negeri pemerintah menerapkan kebijakan impor.. Di tahun 2007 produksi jagung dan beras naik hingga 14,4 persen dan 4,8 persen, bersamaan dengan itu pula produksi kedelai menurun drastis. Kasus impor kedelai tahun 2007 sudah seharusnya dijadikan pengalaman pahit. Sedangkan disaat harga kedelai melonjak tidak pernah menambah pendapatan petani.  Mayoritas petani pengasil komoditas pangan adalah petani gurem dan buruh tani, sangat keterlaluan apabila mereka harus diseret masuk ke arena pasar bebas berhadapan dengan korporasi raksasa. Leberalisasi pertanian sebenarnya bukan fenomena baru baik ditingkat nasioanal maupum internasional. World Confrence on Agrarian and Rural Development (WCARD) yang diselenggarakan tahun 1979 di Roma memuat sejarah penting bagi transformasi masyarakat pedesaan seluruh dunia. Pada konferensi tersebut 150 negara dan PBB menyepakati menyebutkan land reform sebagai instrument pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan yang berkeadilan dan penurunan angka kemiskinan. Selayaknya konsep-konsep mutakhir yang memfokus reforma agraria dan pendidikan sangat diperlukan guna menjawab masalah kemiskinan, utamanya rekonstruksi ekonomi nasional, seperti halnya Indonesia.
Seiring kemenangan paham konservarif terutama di Jerman, Amerika Serikat dan Inggris lembaga-lembaga internasional (FAO dan World Bank) bergeser ke sector makro ekonomi. Haluan lembaga-lembaga internasional, kemudian dengan jelas di arahkan ke garis ekonomi neoliberal yang berpengaruh sampai hari ini. Sungguh WCARD akhirnya menghasilkan Peasent Charter (1981). Menjadi tonggak sejarah lahirnya gagasan pembangunan pedesaan dengan model developmental.

            Dengan sedikit mengenang masa lalu, dimana development dan program-program intervesi terarah lainya sempat mengalami puncak kejayaan sewakru kekuasaan orde baru. Ada perubahan radikal mengenai pola produksi pertanian yang semula subsisten ke komoditas ekspor. Peralihan pertanian tradisional menjadi pertanian modern secara sistematis terkordinasi program revolusi hijau. Pada porsi ini andil lembaga doner, lembaga multinasional dan perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang agribisnis/agronomi sangat besar, utamanya pemberian utang luar negeri, asupan tekhnologi, penyediaan bibit unggul dan penentuan harga pertanian dengan standart internasional. Mayoritas petani kita pemilik lahan sempit dan penggarap melalui sistem bagi hasil, dipaksa beradaptasi dengan benih hasil rekayasa genetika, pupuk kimi, pestisida, mesin perontok padi dan traktor semata-mata untuk meningkatkan produktivitas.
            Mekanisasi pertanian yang diharapkan meningkatkan produktivitas tidak pernah tercapai, yang terjadi justru involusi. Jika orde baru berhasil swasembada itu cuma berlangsung 5 tahun antara tahun 1985-1990 (kecuali tahun 1989). Kendati produksi beras mengalami kenaikan yang cukup signifikan, namun produksi tanaman lain yang terkena dampak revolusi hijau seperti jagung dan gula tebu jatuh ke titik nadirnya. Menurut Francis Wahono (yayasan Cindelaras), jagung memang menunjukan kenaikan dari 21 kwintal per hektar tahun 1977/1978. Namun demikian pada tahun 1994 dan 1997 impor jagung kembali menguat, berturut-turut 1,11 juta ton dan 1,09 juta ton. Produksi gula tebu menurun drastic, dari 2,23 ribu ton tahun 1991 menjadi 1,1 juta ton pada tahun 1998. Sedangakan dilihat dari segi kesejahteraan petani yang diukur dengan indicator upah yang dikontraskan upah dengan kebutuhan fisik minimum ala David Ricardo dan Robert Thomas Malthus. Lebih lanjut Wahono melansir data-data sebagai berikut: untuk buruh tani defisit anggaran mencapai Rp. 55,9 ribu perbulan dan petani gurem defisit Rp. Rp. 7,8 ribu perbulan. Petani berlahan 0,5-1 hektor mengalami surplus berkisar Rp. 29,13 ribu perbulan. Ironisnya bagi pekerja pedesaan diluar sektor pertanian nasibnya lebih baik, dengan surplus anggaran mencapai Rp. 96,64 ribu perbulan. Untuk golongan kelas atas yang bukan petani tetapi tinggal di pedesaan memperoleh surplus anggaran Rp. 481,06 dan 608,14 ribu untuk masyarakat kota. Perlu menjadi catatan hanya petani berlahan lebih 1 hektar saja yang mendapatkan surplus Rp. 109,28 ribu perbulan. Ukuran lahan sangat menentukan tingkat kesejahteraan petani.
            Dengan demikian mekanisasi pertanian yang dilaksanakan dalam konsdisi struktur agrarian timpang, upaya peningkatan kawalitas pertanian adalah mimpi di siang bolong. Anehnya masih banyak yang beranggapan bahawa program revolusi hijau berhasil meningkatkan kwalitas taraf hidup, padahal yang terjadi adalah proses pemiskinan struktural pekerja pedesaan.
            Dan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari para pekerja pedesaan harus meminjam kepada rentenir desa maupun jasa kredit negara, bahkan lalu yang bekerja di luar sector pertanian. Tingginga bunga pinjaman, berikut himpitan ekonomi yang mendera tidak sedikit petani yang menjual lahan garapnya, kemudian meninggalkan pekerjaan sebagai petani. Pada akhirnya yang terjadi tanah terkonsentrasi pada kelas atas pedesaan dan cukong desa.
            Kondisi yang menakjubkan, terjadi urbanisasi besar-besaran karena seting sosial kota identik dengan kemajuan. Upaya trasformasi ekonomi masysrakat pedesaan gagal dilaksanakan oerde baru sampai penguasa hari ini.
Perlu adanya langkah-langkah yang sistematis dan tindakan komplementer dalam melaksanakan pembangunan ekonomi nasional, terlebih di saat krisis. Penataan ekonomi meski harus melibatkan sector-sekror yang ada dan saling terintegrasi, berjangka panjang. Jika ekonomi kerakyatan sebagai solusi peningkatan kesejahteraan dan kedaulan perekonomian nasional, maka pembangunan industri nasional perlu segera dirancang.
            Maka yang harus dilakukan sebelumnya adalah menata ulang kembali struktur kepemilikan dan penguasaan agraria yang masih timpang. Tanpa reforma agraria niscaya pembangunan industri nasional yang berbasis kerakyatan hanyalah paradoks dan mimpi belaka, mewujudkan Makna Pembangunan yang peduli asfek Non Ekonomi di Indonesia, merupakan hal yang sulit, namun itu hanyalah satu – satunya cara untuk mewujudkan Keseimbangan dan Keharmonisan .
Semoga mimpi ini segera akan terwujudkan .
                                                                       

Elsa Mahromi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar